Baleg Berharap RUU POM Efektifkan Fungsi Pengawasan
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI berharap RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan serta Pemanfaatan Obat Asli Indonesia yang sedang dibahas sekarang dapat betul-betul mengefektifkan fungsi pengawasan.
Harapan ini disampaikan anggota Baleg Hendrawan Supratikno saat rapat dengar pendapat umum dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI) dan Gabungan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (GAKEBLAB), Kamis (7/7) yang dipimpin Wakil Ketua Baleg Dimyati Natakusumah.
Hendrawan mengatakan, beredarnya obat-obat dan banyaknya makanan yang dijual dipasaran, perlu ekstra ketat dalam mengawasi produk-produk tersebut. Untuk itu, masukan-masukan dari para nara sumber ini sangat diharapkan untuk dapat menyempurnakan draf RUU dimaksud.
Menurut Hendrawan, pengawasan ini juga harus diikuti dengan efektifitas dan efisiensi. Karena banyak juga orang berpikir banyaknya pengawasan yang dilakukan, akan menjadi beban ekstra atau semakin menambah ekonomi berbiaya tinggi, dan semakin banyak sumber kebocoran.
Untuk mengefektifkan pengawasan ini tentunya kunci utamanya adalah koordinasi. “Kalau koordinasi ini dapat dijalankan dengan baik saya yakin tidak akan banyak masalah yang ditimbulkan,” katanya.
Sementara, Diana Anwar dari Fraksi Partai Demokrat mengatakan, dia tidak sependapat dengan YLKI agar obat tradisional tidak diatur dalam RUU ini. Karena obat tradisional itu perlu pengaturan dan pengawasan. Bahkan bahan baku dari obat tradisional tersebut juga perlu diawasi.
Hal senada dikatakan Jamaluddin Jafar, bahwa obat-obat tradisional perlu dilindungi dan perlu diatur dalam UU ini. “Kenapa kita mesti import dari negara lain seperti Cina, padahal obat tradisional Indonesia begitu banyaknya,” kata Jamaluddin.
Terkait dengan pengawasan, Ketua Badan POM Kustantinah menyampaikan beberapa kendala yang dihadapi dalam pengawasan obat dan makanan yaitu, belum adanya undang-undang khusus yang spesifik tentang pengawasan obat dan makanan yang menjadi rujukan bagi pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum. Hal ini, katanya, seringkali menyebabkan perbedaan persepsi antar penegak hukum.
Selain itu, hak dan tanggung jawab masing-masing stakeholder seringkali masih rancu. Tanggung jawab pelaku usaha masyarakat dan pemerintah termasuk masing-masing substansi terkait dan Pemerintah Daerah belum jelas.
Cakupan pengawasan seluruh wilayah Indonesia saat ini Balai Besar/Balai POM hanya ada di ibukota Provinsi. Secara teknis, ada kendala pengawasan terhadap luas wilayah.
Kendala lainnya, upaya penegak hukum tidak menimbulkan efek jera karena sanksi pidana menggunakan ancaman maksimal dan putusan tidak pernah menetapkan putusan maksimal.
Tindak lanjut hasil pengawasan yang ada di beberapa instansi dan Badan POM hanya memberikan rekomendasi dan hal ini menimbulkan lamanya eksekusi atas pelanggaran.
Kustantinah memberikan beberapa catatan bahwa kewenangan pengawasan obat dan makanan sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 merupakan kewenangan Pemerintah Pusat, namun demikian dalam hal tertentu sesuai dengan PP No. 38 Tahun 2007 dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah provinsidan/atau kabupaten/kota berdasarkan pelimpahan.
Untuk tercapainya efektifitas dalam pengawasan obat dan makanan, kewenangan yang dimiliki oleh lembaga Pemerintah Pusat sebagai pengawas harus bersifat full spectrum meliputi pengawasan pre-market dan post-market.
Institusi pengawas obat dan makanan harus bersifat independen dan memiliki jejaring kerja baik secara nasional maupun internasional dan memiliki dukungan administratif dan teknis yang memadai.
Kustantinah mengatakan, agar pengawasan obat dan makanan dalam upaya perlindungan kesehatan masyarakat dapat dilakukan secara full spectrum perlu adanya landasan hukum yang kuat.
Sementara dari YLKI mengusulkan pengaturan iklan dalam RUU ini. Dalam ketentuan umum belum diatur perihal promosi dan iklan ini.
Menurut Kepala Bidang Penelitian YLKI Ida Marlinda, banyaknya iklan-iklan baik yang disampaikan melalui media cetak maupun elektronik banyak yang khasiatnya tidak sesuai dengan apa yang disampaikan. Tentunya hal ini dapat merugikan bagi konsumen pengguna produk tersebut. Untuk itu, perlu pengaturan yang tegas dalam RUU ini untuk memberikan efek jera bagi produsen.
YLKI juga menyoroti pengawasan terhadap harga obat generik yang beredar di pasaran menjadi wewenang siapa. Tentunya hal ini juga dapat dijadikan masukan berharga agar pengawasan obat generik juga perlu pengaturan yang jelas. (tt) foto:ry/parle